Peran Akupunktur pada Sindrom Ovarium Polikistik (SOPK)
Sindrom ovarium polikistik (SOPK) merupakan masalah endrokinologi tersering pada wanita yang tidak hanya mempengaruhi masalah reproduksi, namun berkaitan dengan faktor-faktor lain seperti gangguan metabolik, psikologi , dan kulit dan kecantikan. Sindrom ini mempengaruhi 7-10% wanita usia reproduktif.
Wanita dengan SOPK biasanya datang ke klinik dengan keluhan timbulnya jerawat dan bulu-bulu tubuh yang berlebih, gangguan siklus menstruasi, hingga sulit memiliki keturunan. Studi menunjukkan adanya kesamaan karakteristik ovarium pada wanita dengan SOPK, yaitu adanya kadar androgen yang tinggi dan peningkatan insulin, dengan disertai ataupun tidak disertai gangguan siklus menstruasi.1
Hingga saat ini diyakini bahwa penyebab SOPK adalah multifaktorial, dan dipengaruhi oleh faktor genetik, hormonal, maupun lingkungan. Wanita dengan SOPK menunjukkan karateristik yang bermacam-macam, sehingga hal ini memunculkan beragam dugaan penyebab SOPK, diantaranya adalah 1) ketidakseimbangan hormonal, yang menyebabkan hiperandrogenisme , 2) kelainan reproduksi dimana terjadi gangguan ovulasi dan menstruasi yang tidak teratur, 3) ketidaknormalan fungsi metabolik yang menyebabkan gangguan metabolisme glukosa, resistensi insulin, obesitas, maupun penyakit jantung dan pembuluh darah , serta 4) perubahan kadar lemak dalam darah. Selain itu, pendekatan secara genetik menunjukkan bahwa faktor genetik berkaitan dan mampu menjelaskan hinga 70% dari terjadinya SOPK.2
Untuk tatalaksana SOPK yang paling penting adalah edukasi pada pasien tentang pentingnya perubahan gaya hidup yang mencakup diet dan aktivitas fisik. Sekitar 30-75% perempuan dengan SOPK di seluruh dunia mengalami kelebihan berat badan atau obesitas.3 Modifikasi diet pada perempuan dengan SOPK dapat memperbaiki kondisi hormonal dan metabolik. Dengan melakukan modifikasi gaya hidup, diharapkan dapat menurunkan kadar lemak dalam tubuh serta meningkatkan sensitivitas insulin. Selain itu, dengan berolahraga, kadar glukosa dapat diperbaiki serta menurunkan risiko gangguan kardiovaskular. Untuk olahraga yang disarankan WHO adalah olahraga yang berintensitas sedang setiap 3-5 kali dalam seminggu, idealnya dilakukan setiap hari, termasuk berjalan, berenang, mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan berkebun. Durasi olahraga 30-45 menit/hari atau lebih dari 150 menit/minggu.4
Pada pasien dengan gangguan menstruasi , terapi yang diberikan adalah kontrasepsi kombinasi yang akan menginduksi siklus haid teratur dan menekan pertumbuhan endometrium. Sementara pada pasien SOPK dengan infertilitas, Klomifen sitrat adalah terapi lini pertama induksi ovulasi pada siklus anovulasi dimana bekerja dengan meningkatkan produksi hormon reproduksi dari hipotalamus yang kemudian akan menstimulasi perkembangan folikel yang memiliki angka keberhasilan sebesar 70-80%, sementara pada pasien SOPK dengan resistensi insulin diberikan terapi Insulin sensitizing agent.5
Akupunktur merupakan sebuah metode penusukan jarum pada titik-titik akupunktur pada tubuh. Terapi ini berkembang dari pengobatan tradisional Cina, namun telah banyak penelitian yang menunjukkan efektivitasnya dalam terapi berbagai penyakit dan telah diakui oleh dunia kedokteran barat.
Pada kasus SOPK, akupunktur berperan dalam meningkatkan sensitivitas insulin, meningkatkan aliran darah ovarium melalui kerja secara segmental sesuai perjalanan saraf, dan dapat bekerja melalui sistem saraf pusat dengan mempengaruhi pelepasan hormon-hormon stress, hormon reproduksi, meningkatkan opoid endogen yang dapat menurunkan kadar androgen dalam sirkulasi darah dan meningkatkan sekresi insulin.
Penelitian-penelitian telah menunjukkan bahwa dibandingkan terapi standart, akupunktur lebih efektif dalam memperbaiki gejala klinis, kadar hormon seks , dan perbaikan siklus menstruasi. Selain itu akupunktur terbukti dapat meningkatkan laju ovulasi dan menstruasi bila dibandingkan dengan tanpa terapi akupunktur ataupun terapi menstruasi, dan semua efek positif dari akupunktur dapat diperoleh dengan efek samping yang sangat minimal dibandingkan dengan penggunaan obat-obatan.
1. Adams JM, Taylor AE, Crowley WF, Jr, Hall JE. Polycystic ovarian morphology with regular ovulatory cycles: insights into the pathophysiology of polycystic ovarian syndrome. J Clin Endocrinol Metab. 2004;89:4343–4350.
2 . Vink JM, Sadrzadeh S, Lambalk CB, Boomsma DI. Heritability of polycystic ovary syndrome (PCOS) in a Dutch twin-family study. J Clin Endocrinol Metab. 2005;91:2100–2104
3. Escobar-Morreale H, San Millan J. Abdominal adiposity and the polycystic ovary syndrome. Trends Endocrinol Metab 2007;18(7):266-72.
4. Johnson TRB, Kaplan LK, Ouyang P, Rizza RA. Evidence-based Methodology Workshop on Polycystic Ovary Syndrome. prevention nih gov/workshops/2012/pcos/docs/PCOS_Final_Statement pdf. 2013 [Google Scholar]
5. Brown J, Farquhar C, Beck J, Boothroyd C, Hughes E. Clomiphene and antioestrogens for ovulation induction in PCOS (Review). Cochrane Database of Systematic Reviews 2009;4